Petikhasil.id, GARUT – Pemerintah Kabupaten Garut bersama Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk Cisanggarung sepakat mempercepat rehabilitasi jaringan irigasi yang selama ini menjadi penopang utama produksi pangan.
Rencana ini dinilai mendesak mengingat persoalan irigasi bukan sekadar teknis, melainkan juga berdampak langsung pada stabilitas ekonomi pertanian.
Bupati Garut Abdusy Syakur Amin menegaskan normalisasi dan pembangunan jaringan irigasi merupakan kebutuhan mendasar yang harus segera dijawab.
“Tanpa pasokan air yang memadai, mustahil petani dapat meningkatkan produktivitas. Pemerintah daerah menyambut positif keterlibatan BBWS karena program ini sekaligus mempertegas komitmen pusat dalam mendukung kemandirian pangan daerah,” kata Syakur, pekan lalu.
Namun, di balik rencana besar tersebut, terdapat pekerjaan rumah yang tidak kecil. Jaringan irigasi di sejumlah kecamatan, khususnya Banyuresmi hingga wilayah utara Garut, mengalami sedimentasi parah.
Akibatnya, debit air yang semestinya bisa mengairi ribuan hektare sawah, justru tersendat. Petani pun hanya mengandalkan musim hujan, yang jelas tidak cukup untuk menjamin kesinambungan produksi sepanjang tahun.
Kepala BBWS Cimanuk Cisanggarung Dwi Agus Kuncoro mengakui kondisi tersebut. Ia menegaskan bahwa rehabilitasi akan dilakukan secara bertahap, mulai dari wilayah Banyuresmi yang mencakup Sungai Ciroyom, Cisangkal, Bandama, Cipancar, Simpangsari, hingga Leuwibolang.
“Tahap berikutnya diperluas ke Sungai Cipeujeuh, Cimanuk, Cikuray, Leuwibitung, Sindujaya, Cirompang, dan Cibuyutan Utara,” kata Dwi.
Langkah bertahap ini dipandang realistis, mengingat keterbatasan anggaran baik di pusat maupun daerah. Namun, efektivitasnya masih perlu diuji. Apalagi, Garut hingga kini tidak memiliki bendungan permanen yang bisa menjadi penyangga air ketika musim kemarau.
Menurut Agus, Situasi ini membuat ketahanan pangan Garut amat rentan terhadap perubahan iklim.
Dari sisi ekonomi, pembangunan irigasi bukan hanya soal infrastruktur air. Ia berhubungan langsung dengan rantai pasok pertanian, harga beras, hingga stabilitas pasar lokal.
Ketika irigasi tersendat, produksi padi menurun, biaya produksi naik, dan pada akhirnya daya beli masyarakat ikut tergerus. Dengan demikian, memperbaiki saluran irigasi sama artinya dengan menjaga kestabilan ekonomi perdesaan.
BBWS sendiri berjanji tidak hanya berhenti pada rehabilitasi irigasi. Dalam periode 2026–2029, lembaga ini juga menyiapkan program pengamanan sungai untuk melindungi kawasan pemukiman, jalan, dan lahan pertanian dari ancaman erosi serta banjir.
“Program tersebut diyakini bisa mengurangi kerugian ekonomi akibat bencana alam yang kerap melanda Garut,” katanya.
Kendati begitu, tantangan terbesar bukan hanya teknis, melainkan juga budaya pemakaian air. Garut selama ini sangat bergantung pada pasokan alam, sehingga ketika musim kering tiba, petani sering kali kesulitan.
Dwi Agus menekankan perlunya kolaborasi pemerintah daerah dalam mensosialisasikan pola hemat air kepada petani. Bukan sekadar menghemat, melainkan juga mengubah cara bercocok tanam agar lebih efisien, baik dari sisi air, benih, maupun pupuk.
Selain itu, evaluasi terhadap proyek-proyek irigasi sebelumnya juga penting dilakukan. Tidak sedikit proyek infrastruktur pertanian yang mangkrak atau tidak dimanfaatkan secara optimal karena perencanaan tidak terintegrasi dengan kebutuhan lapangan.
Jika kesalahan ini terulang, rehabilitasi irigasi di Garut hanya akan menambah daftar panjang proyek tanpa manfaat nyata.
“Jika rencana rehabilitasi ini berhasil, Garut tidak hanya mampu meningkatkan produksi pangan, tetapi juga memberi kontribusi lebih besar terhadap pasokan beras Jawa Barat,” katanya.***