Mengapa Orang Jepang Jarang Konsumsi Ikan Air Tawar? Kisah Nila & Mujair di Indonesia

Petikhasil.id, — Di Jepang, konsumsi ikan laut begitu mendominasi sushi, sashimi, ikan panggang dari laut adalah hidangan sehari-hari. Sedangkan ikan air tawar seperti nila atau mujair hampir tidak pernah terlihat sebagai menu populer. Tradisi kuliner, persepsi kebersihan, dan risiko parasit menjadi beberapa alasan yang membuat ikan air tawar dianggap kurang menarik oleh masyarakat Jepang.

Orang Jepang percaya bahwa ikan sungai atau air tawar lebih rentan terhadap parasit, bakteri, dan zat pencemar dari tanah dan aliran air. Menurut sebuah artikel yang membahas kebiasaan konsumsi ikan di Jepang, ikan sungai dianggap “lebih rawan” dibanding ikan laut dalam hal potensi kontaminan.

Di sisi lain, budaya makan ikan mentah (sashimi) dan keinginan pada kesegaran ekstrem menjadikan standar tinggi untuk ikan laut. Ikan laut segar bisa langsung diolah, sementara ikan air tawar sering dianggap memiliki risiko lebih tinggi apabila tidak benar-benar bersih dan ditangani dengan hati-hati.

Nila & Mujair: Dari Afrika hingga Sungai Indonesia

Di Indonesia, ikan nila (tilapia) dan mujair telah menjadi komoditas penting di perikanan air tawar. Meskipun populer, asal-usul keduanya bukan dari perairan lokal.

Ikan mujair dinamai dari nama Mbah Moedjair (atau Moedjair), seorang petani di Blitar, Jawa Timur, yang pada sekitar tahun 1939 menemukan ikan mojariri (Mozambique tilapia, Oreochromis mossambicus) di muara Sungai Serang dan berhasil membudidayakannya di air tawar.

Ikan ini sejatinya bukan asli Indonesia; ia berasal dari perairan Afrika dan diimpor atau diperkenalkan di masa kolonial Belanda. Mekanisme adaptasi dan pemuliaan lokal menjadikan mujair cocok hidup di danau, kolam, waduk, dan sungai di Indonesia.

Sedangkan nila (tilapia umumnya Oreochromis niloticus) juga berasal dari Afrika dan telah menjadi salah satu ikan budidaya utama di Indonesia. Indonesia kini menjadi salah satu produsen tilapia terbesar di dunia.

Arabannya: ikan-ikan ini dipelihara dan dikonsumsi secara luas di Indonesia, karena harganya terjangkau, pertumbuhannya cepat, dan adaptasinya baik di lingkungan air tawar lokal.

Dengan kontras ini, kita melihat bahwa preferensi kuliner dan persepsi risiko sangat berbeda antara Jepang dan Indonesia. Di Jepang, ikan laut menyandang reputasi lebih “bersih” dan aman untuk konsumsi mentah, sementara ikan air tawar dipandang lebih berisiko. Di Indonesia, ikan air tawar seperti nila dan mujair telah menjadi bagian dari kehidupan pangan sehari-hari, sekaligus komoditas ekonomi penting.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *