Petikhasil.id, KAB BANDUNG – Budidaya melon sering kali dianggap lebih cocok dilakukan di dataran rendah dengan suhu yang relatif stabil. Namun, di Ciwidey, Kabupaten Bandung, ada sekelompok petani yang berani menantang stigma tersebut. Mereka menanam melon premium Intanon RZ di ketinggian 1.200 mdpl, tepat di lereng perbukitan dengan suhu dingin dan kelembapan tinggi.
Hasilnya memang menjanjikan melon yang lebih manis, tekstur lebih renyah, dan kualitas premium. Tapi di balik itu, ada segudang tantangan yang harus dihadapi, terutama serangan penyakit dan hama yang tidak bisa dianggap remeh.
Salah satu musuh terbesar dalam budidaya melon di dataran tinggi adalah jamur. Kondisi cuaca dingin, anomali iklim, hingga kelembapan tinggi menjadi pemicu utama tumbuhnya jamur di greenhouse.
Beberapa jenis jamur yang paling sering menyerang adalah:
- Embun Tepung (Powdery Mildew)
Jamur ini biasanya muncul sebagai bercak putih seperti bedak di permukaan daun. Jika tidak segera dikendalikan, proses fotosintesis terganggu dan pertumbuhan buah menjadi tidak maksimal. - Busuk Pangkal Batang (Fusarium)
Penyakit ini sering muncul menjelang panen. Batang bagian bawah menjadi busuk, tanaman layu, dan buah tidak bisa dipanen dengan sempurna.
“Serangan embun tepung itu pengalaman yang paling merugikan. Sekali kena, kalau tidak diantisipasi, bisa habis satu greenhouse,” ujar Yusef, petani melon di Ciwidey dalam Youtube Petik Hasil
Selain jamur, petani juga harus menghadapi serangan hama kutu thrips. Hama kecil ini menyerang daun muda dan bunga betina. Akibatnya, polinasi terganggu, buah gagal terbentuk, atau kualitas buah menjadi jelek karena pertumbuhan tidak normal.
Yang membuat thrips sulit ditangani adalah siklus hidupnya yang cepat. Jika tidak dikendalikan sejak dini, populasi bisa meningkat drastis dalam hitungan hari. Petani biasanya harus melakukan penyemprotan rutin dengan insektisida yang sesuai, atau menggunakan musuh alami seperti predator serangga.
Selain jamur dan hama, ada tantangan lain yang cukup unik di dataran tinggi: polinasi bunga betina tidak serempak.
Bunga betina pada tanaman melon tidak semuanya mekar dalam satu hari. Kadang ada jeda seminggu antara satu bunga dan bunga lain. Akibatnya, panen tidak bisa dilakukan sekaligus, melainkan bertahap.
Bagi petani, hal ini berarti:
- Tenaga kerja harus lebih intensif karena panen tidak bisa sekali jalan.
- Distribusi ke pasar menjadi lebih rumit.
- Keseragaman kualitas buah kadang sulit dicapai.
“Panen itu ikut polinasi. Karena bunga betina mekar tidak bareng, jadinya panen pun tidak bisa serentak,” jelas Yusef atau biasa dipanggil Iyus.
Meski penuh tantangan, para petani seperti Yosep percaya bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha. Setiap serangan jamur, hama, hingga kegagalan polinasi menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan ke depan.
“Kalau cuma dengar orang bilang dataran tinggi susah, mungkin saya sudah berhenti dari dulu. Tapi justru itu yang jadi tantangan. Saya mau buktikan kalau di Ciwidey pun melon bisa tumbuh dan jadi premium,” kata Yusef dengan penuh semangat
Budidaya melon di dataran tinggi memang tidak mudah. Jamur, thrips, cuaca dingin, hingga polinasi yang tidak serempak menjadi ujian sehari-hari. Namun, dengan teknologi, manajemen yang tepat, dan ketekunan, petani Ciwidey berhasil menghasilkan melon premium yang tidak kalah dengan produk impor.
Kisah ini bukan hanya soal pertanian, tetapi juga tentang mental baja, inovasi, dan keberanian untuk mencoba hal baru.👉 Untuk melihat langsung bagaimana para petani menghadapi tantangan tersebut, tonton episode Jejak Manis di Ketinggian: Green House Melon Ithanon Ciwidey di kanal YouTube Petik Hasil.