Petikhasil.id, JAKARTA – Garda Pangan ingin menjadi katalis, mendorong lebih banyak pihak untuk bergerak. Dari rumah tangga yang mulai menghabiskan makanan, restoran yang menyumbangkan surplus, hingga pemerintah yang membuat regulasi pro-pangan berkelanjutan.
Garda Pangan, didirikan oleh Kevin Gani, menyelamatkan makanan berlebih di Indonesia untuk mengatasi kelaparan dan mengurangi sampah makanan, dengan fokus pada distribusi pangan dan inovasi biokonversi.
Kehadiran Garda Pangan menunjukkan bahwa jurang ini bisa dijembatani. Apa yang dianggap sisa di satu tempat, bisa jadi penyelamat di tempat lain. Apa yang dianggap cacat di mata pasar, bisa jadi nutrisi penting bagi tubuh yang lapar.
Kevin Gani dan para relawan tidak sekadar mengangkut makanan. Mereka mengubah paradigma. Bahwa setiap butir nasi, setiap potong roti, setiap sayuran yang “tidak cantik” punya nilai. Nilai gizi, nilai ekonomi, nilai moral, bahkan nilai spiritual.
Cerita ini dimulai Kevin dari sebuah sudut di Joyoboyo, Surabaya, seorang perempuan renta menyambut kedatangan relawan Garda Pangan dengan senyum tipis. Rambutnya memutih, tubuhnya ringkih, dan hidupnya sebatang kara di sebuah gubuk reyot. Ketika relawan hendak memindahkan makanan sumbangan ke piringnya, nenek itu kebingungan.
Dia tidak punya piring, bahkan mangkuk sederhana pun tak ada. Akhirnya, dia meraih sebuah gayung plastik yang sudah kusam, biasanya dipakai untuk menimba air. Dari situlah makanan itu disajikan—di sebuah gayung kotor yang seharusnya bukan wadah makan.
Bagi Kevin Gani, pengalaman itu menjadi titik balik. Dia saat itu masih seorang mahasiswa yang menjadi sukarelawan baru di Garda Pangan, sebuah komunitas yang bergerak menyelamatkan pangan berlebih.
“Saya kaget, ternyata di kota sebesar Surabaya masih ada orang yang makanannya sangat terbatas, bahkan piring pun tak punya,” kenangnya saat dihubungi Bisnis.
Tak lama setelah pertemuan itu, si nenek meninggal dunia. Kisah ini membekas dan meneguhkan langkah Kevin untuk terjun lebih dalam, hingga kini dia dipercaya sebagai Ketua Yayasan Garda Pangan.
Kisah nenek Joyoboyo hanya secuil potret dari ketidakadilan pangan di Indonesia. Di satu sisi, berjuta ton makanan terbuang setiap tahun. Di sisi lain, jutaan orang berjuang keras untuk sekadar bisa makan dua kali sehari. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2021 memperkirakan Indonesia membuang 23–48 juta ton makanan setiap tahun dalam kurun 2000–2019. Jumlah itu setara memberi makan 61–125 juta orang, atau hampir separuh populasi negeri ini.
Data dan Estimasi Timbulan Sampah Makanan Tahun 2019-2023
Tidak. | Tahun | SIPSN (ribu ton) | SIPSN dan Estimasi (ribu ton) |
1 | 2019 | 9.065 | 22.354 |
2 | 2020 | 8.701 | 22.642 |
3 | 2021 | 8.540 | 22.666 |
4 | 2022 | 11.688 | 23.001 |
5 | 2023 | 7.053 | 23.318 |
Catatan : Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN)
Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI (Bappenas) 2024 (diolah)
Lebih ironis lagi, laporan FAO (Food and Agriculture Organization) menyebutkan, 45 persen sampah rumah tangga Indonesia adalah sisa makanan. Buangan ini bukan sekadar mubazir, tetapi juga berbahaya. Ketika menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA), makanan membusuk dan menghasilkan gas metana. Gas ini 21 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida dalam memicu perubahan iklim. Pada 2005, ledakan TPA Leuwigajah, Jawa Barat, yang disebabkan akumulasi gas metana dari timbunan sampah, menewaskan lebih dari 140 jiwa.
“Kalau dilihat, TPA-TPA di Indonesia itu sebenarnya bom waktu. Komposisi terbesar sampahnya makanan, dan itu yang paling mudah menghasilkan metana,” ujar Kevin.
Di tengah kondisi tersebut, lahirlah Garda Pangan—sebuah inisiatif untuk menjembatani jurang besar antara surplus pangan dan kelaparan. Sejak berdiri pada 2017, mereka berkomitmen menyelamatkan makanan berlebih agar tidak masuk ke TPA, lalu menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan.
Namanya diambil dari kata “garda”—barisan terdepan yang menjaga—dan “pangan”, yang artinya makanan. Harapannya sederhana tetapi visioner: menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan pangan sekaligus melawan kelaparan.
Deretan Negara Penghasil Sampah Makanan Terbesar di Dunia
Peringkat | Negara | Sampah Makanan Rumah Tangga(juta ton/tahun) |
1 | Cina | 108,67 |
2 | India | 78,19 |
3 | Pakistan | 30,75 |
4 | Nigeria | 24,79 |
5 | Amerika Serikat | 24,72 |
6 | Brasil | 20,29 |
7 | Mesir | 18,09 |
8 | Indonesia | 14,73 |
Sumber: Laporan Indeks Limbah Makanan UNEP 2024
Dari Gerakan Akar Rumput ke Jaringan Nasional
Seiring waktu, Garda Pangan semakin dikenal sebagai pionir food bank di Indonesia. Mereka tak hanya beroperasi di Surabaya, tetapi juga menjalin kerja sama dengan komunitas di kota lain. Konsep “rescue food” yang mereka gaungkan mulai diadopsi di berbagai tempat.
Kevin dan timnya bahkan sering diundang berbicara dalam forum internasional tentang ketahanan pangan dan keberlanjutan. Meski begitu, ia tetap rendah hati.
“Kami ini hanya memindahkan makanan dari tempat berlebih ke tempat yang kurang. Sederhana, tapi kalau dilakukan terus, dampaknya besar,” ujarnya.
Bagi Garda Pangan, setiap butir nasi punya makna. Karena itu, strategi utama mereka adalah food rescue—menyelamatkan makanan berlebih dari tempat-tempat yang biasanya membuangnya. Hotel, restoran, toko roti, hingga katering menjadi mitra penting. Setiap hari, relawan menjemput makanan surplus, memilahnya di food bank, lalu mendistribusikan ke komunitas yang membutuhkan.
Makanan yang diselamatkan biasanya masih layak konsumsi: roti yang mendekati tanggal kadaluarsa, nasi kotak sisa rapat, lauk-pauk pesta, hingga buah dan sayuran segar.
“Kami punya standar ketat. Kalau tidak layak makan untuk kami sendiri, ya tidak kami salurkan. Keselamatan penerima tetap nomor satu,” jelas Kevin.
Tabel Food Waste: Ini 5 makanan yang paling banyak terbuang
Peringkat | Jenis Makanan | Jumlah Terbuang per Tahun | Penyebab Utama |
1 | Roti | ± 900.000 ton | Kelebihan produksi & konsumsi |
2 | Kentang | ± 750.000 ton | Pembelian berlebihan, pembusukan, ketidaksempurnaan estetika |
3 | Susu | ± 490.000 ton | Kedaluwarsa, penyimpanan tidak tepat, kelebihan produksi |
4 | Pisang | ± 190.000 ton | Terlalu matang, cacat kosmetik |
5 | Salad & Sayuran (selada, tomat, mentimun, sayuran berdaun) | ± 170.000 ton | Pembusukan, pembelian berlebihan, standar kualitas pengecer |
Sumber: Sampah Dikelola
Prosesnya sederhana tapi rapi. Begitu makanan tiba, tim melakukan pemeriksaan kualitas: suhu, aroma, tekstur. Setelah lolos, makanan dikemas ulang dengan higienis, kemudian segera dibagikan ke panti asuhan, rumah singgah, warga marjinal, bahkan pemulung di sekitar TPA.
Selain makanan matang, Garda Pangan juga fokus pada hasil panen yang ditolak pasar. Inilah yang mereka sebut memungut. Relawan terjun langsung ke lahan petani, memetik sayuran atau buah yang cacat bentuk wortel terlalu pendek, timun bengkok, atau jeruk bernoda.
“Padahal gizinya sama, cuma penampilannya saja yang tidak sesuai standar pasar modern. Kalau dibiarkan, petani bisa rugi besar,” kata Kevin.
Hasil gleaning ini kemudian didistribusikan ke penerima manfaat. Ada pula yang diolah menjadi produk turunan, misalnya jus atau selai, sehingga nilai jualnya kembali. Dengan cara ini, Garda Pangan bukan hanya memberi makan orang lapar, tetapi juga menyelamatkan penghasilan petani.
Meski demikian, tidak semua makanan bisa diselamatkan. Ada yang sudah terlalu basi atau rusak. Untuk sisa-sisa ini, Garda Pangan punya pendekatan inovatif: biokonversi menggunakan larva black soldier fly (BSF), atau yang lebih dikenal sebagai maggot.
Sisa makanan yang tidak layak konsumsi manusia diberikan ke koloni maggot. Dalam waktu singkat, larva-larva itu mengurai sisa organik menjadi biomassa. Hasilnya, dua manfaat sekaligus: maggot bisa dijadikan pakan ternak, sementara residunya menjadi pupuk organik.
“Dengan maggot, benar-benar zero waste. Bahkan yang tadinya sampah bisa jadi sumber ekonomi baru,” ujar Kevin.
Bagi Kevin, perjuangan pangan bukan sekadar soal logistik atau nutrisi. Ia melihatnya sebagai wujud nyata dari nilai-nilai Pancasila. “Keadilan sosial itu ya termasuk soal akses makanan. Jangan ada yang kenyang berlebihan sementara tetangganya lapar,” tegasnya.
Karena itu, Garda Pangan selalu mengedepankan prinsip inklusif dan kolektif. Mereka percaya bahwa pangan adalah hak, bukan privilese. Dalam setiap distribusi, mereka tidak membedakan latar belakang agama, etnis, atau status sosial. Siapa yang butuh, dialah yang berhak menerima.
Visi ini tentu ambisius, tetapi Kevin yakin langkah kecil bisa membawa perubahan besar. Ia sering mengutip pepatah: “Mengurangi kelaparan bukan dimulai dari satu juta porsi, tapi dari satu porsi yang diselamatkan.”
Garda Pangan ingin menjadi katalis, mendorong lebih banyak pihak untuk bergerak. Dari rumah tangga yang mulai menghabiskan makanan, restoran yang menyumbangkan surplus, hingga pemerintah yang membuat regulasi pro-pangan berkelanjutan.
“Kalau semua pihak bergerak, saya percaya kita bisa menuju Indonesia tanpa lapar,” pungkas Kevin.
Aktivitas yayasan membawanya menerima 15th SATU (Semangat Astra Terpadu Untuk) Indonesia Awards di Menara Astra, Jakarta, 29 Oktober 2024. Anugerah ini dari konglomerasi Astra International. Kevin menerima penghargaan bertaraf nasional untuk kategori lingkungan sebagai Pejuang Pangan Berkelanjutan.***